Kerja lelaki dahulu kalau tidak
bertani, mereka pergi mencari kayu di
hutan. Bukan semudahnya pergi dan pulang. Kadang ada yang bertemu dengan
harimau tidak kurang jelmaan dari alam lain. Makanya kerja mencari kayu ke
hutan kerja lelaki sejati yang kuat hatinya. Yang mana hidupnya ingin berbakti tidak
kira apa pun rintangan. Perginya pagi pulangnya hampir mentari terbenam.
“Cuaca agak baik hari ni, bolehlah aku pergi ke hutan
untuk mencari kayu atau rotan” Bisik Putra
Putra adalah seorang pemuda yang rajin. Dia tinggal
bersama ibubapanya yang sudah berusia. Putra mengganti ayahnya ke hutan semenjak ayahnya sudah tidak kuat lagi.
Dia seorang yang masih muda di umur lewat 25 tahun dengan rupa yang tampan dan
peribadi yang sangat baik. Di kawasan kampung yang diberi nama Bunga Mawar, Putra disebut-sebut sebagai pemuda yang berani kerana sanggup
pergi ke hutan seorang diri.
Bagi Putra itu biasa kerana ayahnya juga pencari kayu
di hutan. Dia dibesarkan dengan hasil pencarian ayahnya. Kini ayahnya sudah
lanjut usia maka dialah yang harus bertanggungjawab mencari hasil pencarian
untuk ayah dan ibunya pula. Sesudah dia ditatang bagai minyak penuh maka
sekarang masa untuk dia membalas budi pula.
“Ibu saya sudah mahu pergi ni” jerit Putra dari muka
pintu.
“Nanti dulu Putra, ini ada bekal buat kamu.” Sahut ibu
Putra, Cik Siti.
“Kalau banyak ini bekalnya seperti mahu putra pergi
selama berhari-hari.”
“Ish, ada-ada saja kamu ni, ibu mahu kamu makan banyak
supaya lebih bertenega”
“Ya saya tahu
ibu sayang dengan anaknya ni.” Balas Putra sambil ketawa kecil.
“Baiklah ibu, saya pergi dulu.” Putra memulakan
langkahnya dengan mencium tangan ibunya.
Putra mempunyai ilmu yang cukup untuk masuk ke
hutan. Segala ilmu yang diperlukan
seseorang untuk pergi mencari kayu dihutan diturunkan oleh ayahnya kepada
Putra. Ayahnya seorang yang terkenal mahir memasuki hutan di kalangan penduduk
kampung Bunga Mawar. Kata pepatah, “buah tidak akan jatuh jauh dari pokok” ,
Putra sangat mewarisi kemahiran dari ayahnya.
***
“Aku perlu berehat dulu di sini” Putra menyandarkan
tubuhnya di sepohon pokok untuk melepaskan lelahnya.
Putra duduk sebentar menikmati bekalan yang disediakan
ibunya tercinta. Kayu-Kayu dan rotan yang sudah dicari, diikat dan diletakkan
ditepi. Dalam menunggu tenaganya untuk berangkat pula datang kembali, Putra
seperti biasa memainkan seruling memecah kesunyian dihutan. Beralunlah bunyi
tiupan seruling milik Putra melalui hutan-hutan dengan penuh kemerduan
seakan-akan menyanyikan lagu damai. Biasanya kalau Putra memainkan di rumah
pasti aka ada yang duduk terpaku mendengarkan ketenangan tiupan seruling.
“ Diam, jangan bersuara, nanti dia dengar”
Putra berhenti meniupkan serulingnya.Kedengaran
seperti ada suara wanita yang sedang memerhatikan dirinya. Dia perlahan-lahan
menggerakkan matanya melihat ke sekeliling. Jauh di tengah hutan tidak mungkin
ada wanita yang berani bermain-main di sini.
“Tak mungkin, Mayang nak takut-takutkan aku sampai di
tengah hutan, dia pun pasti tak berani.” Bisik Hati Putra
Putra memberanikan diri melihat disebalik semak-semak
dan pokok. Kedengaran ada pergerakan yang memijak ranting-ranting kecil seperti
cuba melarikan diri. Putra langsung menuju dan bersuara,
“Siapakah gerangan yang memerhatikan saya tadi.”
Ternyata tidak ada kelihatan mana-mana gadis disitu.
Putra ingin melupakan tentang suara itu dan berangkat pulang. Akan tetapi Putra
menemui secarik kain bewarna merah hati yang teragntung pada ranting. Kainnya
lembut dari sutera yang menurut Putra payah untuk ditemui kecuali dari Istana
atau Para Bangsawan.
Putra mencari akal untuk membuat gadis itu keluar.
Perasaan lelaki Putra ingin mengetahui seberapa cantik wanita pemilik kepada
carikan kain berwarna merah hati ini. Mungkinkah dia memiliki wajah seperti kebanyakan
Putri-Putri di istana. Wajahnya putih kemerah-merahan dengan rambut yang
disanggul rapi, hidung kecil seperti paruh burung, alis mata yang melengkuk dan
mata yang indah yang seperti bulan purnama. Putra membayangkan seperti
Putri-Putri yang pernah dia lihat ketika ada acara di Istana. Putra pernah
mengimpikan untuk memiliki isteri secantik itu ketika usianya remaja tetapi dia tahu itu cumalah khayalan kerana
dia cuma orang biasa.
“Saya tahu kamu ada disini, keluarlah, mungkin kita
boleh berkenalan dan berteman.” Teriak Putra.
Selang beberapa nafas Putra mendengar balasan,
“Saya suka mendengar tiupan seruling kamu, bolehkah
kamu meniupnya lagi?”
Suara gadis menjawab.
“Baiklah, saya boleh meniupkannya untuk kamu tetapi
keluarlah, lihatkan diri kamu dulu.”
Gadis itu
melihatkan diriya, disisinya ada seorang gadis lain yang kelihatan seperti
teman rapat gadis tersebut. Putra tergamam, matanya bulat dari biasa, mukanya
pula terukir senyuman kecil seperti ada impian yang menjadi kenyataan dan lidahnya
kelu untuk memulakan bicara.
Gadis itu bersuara, “Maaf kalau menganggu kamu, saya
Putri Melati dan ini dayang di Istana yang selalu menemani saya namana Seri.
Siapa nama kamu?”
Putra masih terpukau dengan kecantikkan Putri Melati.
Matanya menerenung tepat ke wajah Putri Melati. Dia masih tidak sedar dengan
pertanyaan dari Putri Melati. Seri yang merupakan dayang kepada Putri Melati
berasa lucu melihatkan gayanya Putra tadi berkata sambil ketawa,
“Siapa yang
tidak akan terpesona melihat bulan purnama,
Kalau Para
Pecinta akan terpaku, apatah lagi si peniup seruling biasa.”
Gelaran Peniup Seruling biasa tadi menyentak telinga
Putra dari terpaku di dalam kecantikan wajah Putri Melati.
“Apa yang Tuan Putri pertanyakan tadi, saya terlepas
mendengarnya/”
“Siapa nama kamu?” Soal Putri Melati dengan tutur yang
sungguh sopan.
“Saya bernama Putra, saya seorang pencari kayu di
hutan. Tuan Putri berasal dari mana, saya tidak pernah melihat Putri di
berdekatan sini sebelumnya?”
Putri Melati berpandangan dengan dayangnya Seri
seperti ada sesuatu yang takut ingin disampaikan kepada Putra. Melihatkan
keadaan itu Putra memujuk,
“Ceritakan saja yang sebenarnya, saya sudah biasa
dengan hal-hal seperti ini kerana masuk ke hutan ini bukanlah kali pertama
berlaku sesuatu yang tidak sangka-sangka.”
Putri Melati senang mendengarkan jawaban Putra. Dia
mencritakan dirinya dari Kayangan. Turunnya bersama dayang-dayang lain untuk
melihat-lihat dan bermain-main di hutan yang terdapat air sungai yang jernih.
Putri Melati sering ke situ bersama dayang-dayangnya. Pada suatu hari ketika
dia sedang bermain di sungai, dia terdengar tiupan seruling dari Putra. Dia
berasa tenang dengan tiupan seruling Putra dan dayang-dayangnya juga terhibur
mendengarkannya.
Sudah lama Putri Melati mendengarkannya dari jauh,
cuma kali ini Putri Melati ingin melihat dan mengenali peniupnya secara dekat.
Dia telah jatuh hati dengan tiupan seruling Putra dan dengan terbuka mengakui
isi hatinya yang melihat Putra sebagai seorang yang baik dan indah wajahnya.
Dia tahu Puta ke hutan untuk menjaga kedua ibu bapanya yang sudah tua.
Putra agak senang mendengarkan luahan hati Putri
Melati,
“Kalau
begitu kejujuran kata hati
Biarlah
seruling ini menghiburkan sehingga nafas terhenti”
Putri Melati tertunduk malu mendengar
kata-kata Putra. Dalam masa yang singkat, ketenangan seruling menyatukan dua
hati yang baik. Namun, cinta saja tidak mencukupi kerana mereka dari dua tempat
yang berbeza. Dari kedudukan pasti jauh sama sekali, lebih jauh dari kayangan
perbezaannya.
Selepas menghiburkan
Putri Melati dengan tiupan seruling. Putra bertanya,
“Bilakan boleh bertemu lagi Putri?” kali ini Putra membahasakan buah hatinya
sebagai Putri seperti yang dipinta oleh Putri Melati.
“Saya tidak tahu kerana kebenaran untuk turun ke dunia
manusia tidak selalu. Pasti akan lebih menjadi masalah lagi sekiranya Istana
tahu saya berhubungan dengan manusia. Takut-Takut saya tidak dibenarkan untuk
turun lagi” Bicara Putri Melati dengan kecewa.
“Kalau begitu berjanjilah, ketika
Putri turun dan mendengar tiupan seruling saya, Putri akan datang menemui
saya.” Rayu Putra.
“Baiklah Putra, saya berajanji.”
“Kerana kasih sanggup tersisih
Kerana cinta ada derita
Hanya yang setia sedia berkasih
Hanya cinta sedia menempuh badainya”
***
Putra malam itu merehatkan badan dengan bayangan wajah
dan senyuman Putri Melati. Siapa sangka orang sepertinya boleh bertemu dengan
wanita secantik itu. Tiupan seruling yang biasa saja menurut orang kampungnya
menjadi begitu istimewa oleh seorang Putri dari kayangan. Mungkin yang
dinamakan takdir terlalu luas dan rahsia dan tidak terjangka. Putra dengan
senyuman melelapkan matanya.
Keesokan pagi, ketika cahaya mentari masih lembut
sinarnya, Putra bingkas bangun bersiap. Putra tidak sabar mahu menemui Putri
Melati. Terburu-Buru Putra keluar dari rumah tanpa mengambil bekal dari ibunya
seperti biasa, putra memulai langkah. Sesudah sampai di hutan Putra seperti
biasa mengumpul kayu hutan dan berehat di pokok yang sering menjadi tempat
teduhnya.
Putra memainkan serulingnya. Kali ini lagunya dari
hati, bunyi seperti luahan rasa cinta yang terbuku dihati, diringi kejujuran
dan kesetiaan yang tidak akan boleh digugat, Putra meniupkan serulingnya.
Lama Putra meniup seruling tetapi Putri Melati tidak
juga kelihatan seperti janjinya. Putra terus meniup serulingnya dengan harapan.
Walaupun sudah seperti mah kehabisan nafas Putra tetap meneruskan tiupan
serulingnya.
Sedang meniup seruling, Putra melihat Seri datang
menghampirinya. Putra lantas bangkit dan menuju kepada Seri. Putra melihat
Putri Melati tidak ada bersamanya. Ada sesuatu yang tidak kena menurut Putra.
Tambahan, melihatkan wajah Seri yang tidak seceria semalam mereka bertemu.
“Tuan Putri mohon maaf kerana tidak dapat bertemu hari
ini. Dan Tuan Putri tidak dapat menjanjikan lagi bila boleh bertemu. Semalam
Istana mendapat tahu tentang pertemuan Putri Melati dengan kamu. Putri Melati dimarahi
dan dihukum tidak akan dapat turun kedunia kecuali mengakui kesalahnnya dan
tidak akan bertemu kamu lagi.” Luah Seri.
“Jadi apakah Putri Melati tidak akan bertemu dengan
aku lagi?” soal Putra
“Tuan Putri tidak mahu mengakui, dia berkeras mahu
bertemu dengan kamu dengan alasan cinta kepada kamu. Kerana itulah dia tidak
dibenarkan Turun. Dia juga tidak mendapat layanan istemewa sebagi Putri selagi
tidak mengakui kesalahanya”
“Sampaikanlah kepada Putri, janganlah sampai dia
derita kerana manusia biasa sepertinya. Tak mengapa kalau mereka tidak boleh
lagi bertemu, asalkan Putri hidup bahagia seperti biasa. Dia akan tetap
meniupkan seruling dari jauh buat Putri seperti janjinya dulu. “ Pesan Putra
kepada Seri buat Putri Melati .
Putra pulang dengan kecewa dan sedikit kesal. Putra
tidak sangka pertemuan mereka semalam akan berubah seburuk itu. Putri
kehilangan hak sebagai seorang Putri gara-gara mempertahankan rasa cintanya.
Putra mengakui dia mungkin terlena sekejap oleh kecantikkan Putri Melati.
Seharusnya dia mengukur baju di badan sendiri dan tidak menyusahkan Putri
Melati dengan kata-kata manisnya semalam.
Putra jauh merenung sehingga sampai ke depan pintu
rumahnya. Putra duduk di tangga mengeluh dan memikirkan dirinya dan Putri
Melati.
Ibunya melihat perbezaan Putra yang tadinya keluar
dengan ceria tetapi sugul selepas pulang. Sangka Ibunya mungkin Putra terlalu
penat dan perlu berehat. Ibunya duduk ditangga rumah kayu bersama Putra.
“Kenapa wajah kamu muram, apa ada sesuatu yang kamu
fikirkan?”
“Tidak ibu, saya cuma terlalu penat” jawab Putra
“Ibu ingin beritahu kamu sesuatu, ibu ingin memberitahunya
semalam tetapi kamu mungkin penat, pagi tadi pula kamu terburu-buru, ibu tidak
sempat memanggil kamu.”
“Maaf ibu, pagi tadi saya ingin mengejar masa, ibu
mahu beritahu apa?”
“ Kamu kenal Mayang, teman sepermainan kamu, dia sudah
dewasa, ayahnya dan ayah kamu merupakan kawan baik, mereka bersepakat mahu
menyatukan kamu dengan mayang, apa pandangan kamu.”
Putra terkejut. Putra tidak mahu meberi jawapan
terburu-buru kerana bimbang orang tuanya akan berkecil hati. Ayah Putra dan
Mayang sudah lama berkawan baik.Mereka pasti mahu hubungan mereka menjadi lebih
rapat dengan menyatukan Mayang dan dirinya.
“Biarlah saya berbual dengan ayah dan bertemu Mayang
dulu ibu” Putra menjawab meminta masa.
“Baiklah, ibu setuju, berkahwin bukan semudah
menyarung cincin di jari” Ibunya memahami diri Putra.
***
Putra tidak ke hutan hari ini. Dia juga tahu dia tetap
tidak akan dapat bertemu Putri Melati kalau dia pergi hutan hari ini. Maka dia
Cuma mahu berbual dengan ayahnya dan bertemu dengan Mayang mengenai urusan
penjodohan ini. Putra duduk bersama ayahnya sedang berehat di halaman rumah
bersama burung nuri kesayangannya.
“Makin besar burung nuri ni ayah” Putra cuba memulakan
perbualan.
“ Ya, kalau dijaga dengan baik” jawab ayahnya.
Putra meneruskan niatnya, “Ayah apa penjodohan itu
pasti atau masih dalam perbincangan.”
Ayahnya melihat wajah Putra, Putra takut juga kalau
dimarahi ayahnya. Putra cuba melihatkan wajah tenang menunggu balasan
jawapannya dari ayahnya.
“Kenapa kamu tanya begitu?”
“ Saya takut kalau tidak jadi sebab saya dengan Mayang
cuma teman sepermainan. Kami cuma kawan, tidak pernah ada rasa cinta.” Putra
cuba menjelaskan
“Itu kata kamu, kata Mayang bagaimana?”
Putra pelik dengan jawapan diberikan oleh ayahnya
seolah-olah ayahnya tahu perasaan Mayang kepada dirinya. Tak mungkinlah Mayang
suka dekat dirinya. Mayang sering meremehkan Putra dan serulingnya. Setiap kali
Putra meniup seruling Mayang akan menutup telinga dan menjerit,
‘nyamuk’,’nyamuk’.
“Nantilah saya tanyakan kepada Mayang ayah, saya Cuma
tidak mahu terburu-buru, takut nanti ayah kecewa dan Mayang terluka.”
“Fikirlah yang terbaik, ayah tidak mahu memaksa kamu
juga. Persoalan pilihan samaseperti kecintaan ayah kepada burung nuri. Ayah mungkin suka kepadanya, menjaga dengan
baik dan burung nuri pun kelihatan baik bersama ayah. Tapi cubalah dibuka
sangkarnya, pasti dia akan terbang jua kerana hidupnya ada di dunia luar.”
Putra dapat mengambil maksud tersirat dari ayahnya.
Orang tua memang pandai memberi contoh dari sekeliling. Seberapa dia cuba
menunjukkan cintanya kepada Mayang dirinya tetap akan menurut sesuatu yang dia
lebih cintai. Walaupun Putri Melati masih tidak ada berita dan kepastian,
hatinya tetap masih menunggu dengan harapan.
“Ayah rasanya saya sudah pilihan saya sendiri.” Tegas
Putra
“Kalau itu keputusan kamu, ayah tidak memaksa. Jangan
kamu risaukan hubungan persahabatan ayah dan ayah si Mayang.”
***
Sudah
hampir satu purnama Putra mencari kayu di hutan tetapi tidak menemui Putri
Melati. Dia tidak jemu memainkan serulingnya, dia meniup dengan nada yang
mendayu, alunannya menggambarkan kerinduan dan harapan yang tidak akan pernah
berhenti sehingga menjadi kenyataan. Putra sentiasa menantikan Putri Melati
dengan setia setelah menolak penjodohan dengan Mayang.
Putra
masih ingat kata-katanya kepada Mayang mengenai dirinya yang sudah ada
seseorang yang dia cintai,
“Maafkan saya kerana menolak dijodohkan
dengan kamu. Saya sudah punya kekasih hati saya sendiri.”
“Siapa wanita itu, beruntung sekali dia
kerana dicintai kamu, orang kampung kita juga ke?”
“Dia sepertinya jauh, tetapi dia sentiasa
dekat di hati saya, Walaupun ada perbezaan tetapi cinta membuat kami sama.
Sepertinya saya sudah memiliki dia tetapi masih banyak yang belum saya kenali.”
Jelas Putra secara puitis.
“ Ceritalah dengan bahasa yang mudah, tidak
perlu berpuitis!” Mayang sedikit jengkel.
“Haha… dia bukan orang kampung kita, kamu
tidak mengenali dia, namanya Putri, Putri Melati. Saya masih menunggu dia”
Balas Putra tersenyum.
Dia memikirkan kenyataan dan dia
juga memikirkan perasaan itu akan memenangi segala-galanya. Dia yakin cinta nya
akan didengari dan dapat bersama dengan Putri selamanya. Makanya dia tidak
pernah jemu meniup serulingnya.
“Apa kamu sudi meniupkan seruling untuk
saya selamanya.”
Ada suara mencelah tumpuan Putra yang sedang leka
meniup seruling dengan penuh perasaan dari belakang. Putra memusingkan
kepalanya dan ternyata memang Putri Melati. Putra bangun dan berdiri di hadapan
Putri Melati dengan mata yang merah kerana menahan air mata. Putri Melati tidak
dapat menahan dan menangis kerana terlalu rindu.
Dalam sebak Putra berkata, “Saya sudi, saya
sudi selamanya asalkan kamu tidak pergi lagi.”
Seri yang sedang melihat pertemuan dua kekasih hati
bersama beberapa dayang Istana lain berkata kepada Putra, “Jagalah Tuan Putri
dengan baik, dia kini bukan lagi sebahagian dari kami, dia milik kamu. Dia
tidak akan kembali lagi ke tempat asalnya, jadi jangan pernah mengecewakannya.”
Putra memandang wajah Putri, dia tahu berapa besarnnya
pengorbanan Putri demi dirinya. Dia membacakan beberapa rangkap puisi yang
membuat seri dan dayang-dayang menangis sebelum mereka semua berpisah.
“Pertemuan
yang bahagia
Semua boleh
menentukannya.
Akan tetapi
tidak siapa tahu bagaimana selepasnya,
Sudah lama
diseksa rindu tidak bersua,
Tidak mahu
lagi diri ingin mengulanginya
Biarlah
keputusan hari ini sebagai pengakhirnya
Dimiliki dan
memiliki bersama selamanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar